Selasa, 18 Juni 2013

Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya.
Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
1.    Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
2.    Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
3.    Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
4.    Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
Harold H. Titus (1979 ): (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.
Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. : Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Referensi :
Betrand Russel.2002. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (alih Bahasa Sigit jatmiko, dkk ) . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ismaun.2007. Filsafat Administrasi Pendidikan(Serahan Perkuliahan ). Bandung : UPI
Ismaun.2007. Kapita Selekta Filsafat Administrasi Pendidikan (Serahan Perkuliahan). Bandung : UPI
Koento Wibisono.1997. Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta : Universitas Terbuka
Moersaleh. 1987. Filsafat Administrasi. Jakarta : Univesitas Terbuka
Istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu philo dan sophia. Dua kata ini mempunyai arti masing-masing. Philo berarti cinta dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan Sophia mempunyai arti hikmah, kebijaksanaan, dan kebenaran. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).[1]
Filsafat sebagai bentuk proses berpikir yang sistematis dan radikal mempunyai objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Dan segala yang ada mencakup ada yang tampak (visible). Ada yang tampak (visible) di sini adalah dunia empiris artinya yang dapat dialami manusia, sedangkan ada yang tidak tampak adalah dunia ide-ide yang disebut dunia metafisik.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya, objek material filsafat dibagi atas tiga bagian yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Dan ada pun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya, intinya.
Di samping pengertian diatas, berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan seperti ini, tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang notabene adalah juga bidang politik.
Bagi Nietzsche, filsafat adalah sebagai praktik pembentuk kehidupan sebagai perjuangan dan kegagalan serat gelombang pasang energi eskatik yang mengubahnya dari malaise idealisme melalui ribuan malam-malam gelap menuju pencapaian kesehatan yang bersemangat. Senada dengan Nietzsche, Gramsci pernah mengatakan bahwa filsafat yang sejati bukan merupakan cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung seluruh hal-hal fundamental yang dibutuhkan untuk mengonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi masyarakat politik yang integral dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, politik gramsci mengarahkan dia pada filsafat, dan filsafatnya sepenuhnya bersifat politik. Dengan kata lain, Gramsci melihat filsafat sebagai pendidikan politik, dan politik sebagai arena untuk menerapkan pengetahuan filosofis.[3] Dalam arti bahwa filsafat sebagai penyedia konsep bagi politik. Sedangkan konsep-konsep yang disediakan filsafat di terapkan dalam bidang politik. Dan pada tingkat ini, filsafat saling kerja sama, saling membutuhkan.
Bagi Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segalanya. Dan bagi Aritoteles, filsafat adalah menyelidiki sebab dan azas segala benda. Karena itu, Aristoteles menamakan filsafat dengan “teologia” atau “filsafat petama”. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam negara seperti Indonesia, kekuasaan negara dibagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama, Lembaga Eksekutif oleh Presiden. Kedua, Lembaga Legislatif oleh DPR. Ketiga, Lembaga Yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga-tiganya bersifat independen. Artinya tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Politik juga sering dikaitkan dengan hal penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Yang menyelenggarakannya bukan rakyat, tetapi pemerintahan yang berkuasa. Hanya saja partisipasi rakyat sangat diharapkan. Tujuannya agar kerja pemerintahan dapat terlaksana dengan baik. Percuma suatu pemerintahan menyelenggarakan negara tanpa dukungan dari rakyat. Karena itu, kerja sama antara keduanya sangat diharapkan. Rakyat menyampaikan aspirasi kepada pemerintahan melalui wakil-wakilnya di Parlemen yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baik pusat maupun Daerah serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah).[1]
Dari pengalaman menjadi warga negara Indonesia, ada 2 (dua) pengertian politik. Pertama, Kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di dalam masyarakat. Kedua, segala sesuatu yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Pengertian pertama mau menegaskan bahwa Politik berkaitan dengan “kekuasaan”. Kekuasaan adalah tujuan para pelaku politik. Karena itu, para pelaku politik dapat melakukan apa saja demi meraih dan mempertahankan kekuasaan. Beberapa contoh sikap dan usaha para pelaku politik untuk meraih kekuasaan misalnya: melalui kampanye Pilpres (Pemilihan Presiden), kampanye legislatif, dan lain-lain. Usaha mempertahankan kekuasaan misalnya: melalui lobi-lobi politik antara pelaku politik (elit politik), menjalankan kebijakan pemerintahan secara efisien, sehingga ada kemungkinan untuk terpilih kembali, atau melakukan money politic agar mendapat dukungan pejabat pemerintahan dan para pelaku politik lainnya. Sedangkan pengertian yang kedua berkaitan dengan kebijakan pemerintahan dalam negara. Kebijakan Pemerintahan ada bermacam-macam di sini. Pertama, kebijakan dalam negeri yang terdiri dari kehidupan sosial dan budaya, politik, ekonomi, pertahanan keamanan, dan lain-lain. Kedua, kebijakan luar negeri yang berurusan dengan hubungan dengan negara lain. Namun, pemerintahan berkuasa dalam menjalankan segala kebijakannya tersebut paling tidak harus didukung oleh 2/3 anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Jika tidak, pemerintahan akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan tersebut. Karena tidak didukung oleh sebagian besar anggota Parlemen. Tapi jika pemerintahan didukung oleh 2/3 suara mayoritas di parlemen, maka dengan sendirinya kebijakan-kebijakan pemerinthan tidak akan mengalami hambatan-hambatan dalam penerapannya.
Ada berbagai macam sistem politik yang dianut oleh negara-negara di dunia antara lain: sistem anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki. walaupun dalam kenyataannya sistemsistem politik tersebut berakhir tragis. Namun, sebetulnya punya tujuan sama yaitu membangun masyarakat beradab, dan berbudaya tinggi.
Definisi Filsafat Politik
Setelah mengetahui pengertian filsafat dan politik, maka definisi filsafat politik diperoleh melalui gabungan keduanya, yaitu sebagai suatu upaya  untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam, serta menyeluruh. Berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan ini tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang nota bene adalah bidang politik tempat masyarakat bernaung. Dan di situ filsafat muncul sebagai kritik. Dalam upaya kritisnya tersebut, filsafat menuntut agar segala klaim para pelaku politik untuk menata masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dengan benar dan tidak membiarkan segala macam kekuasaan menjadi mapan begitu saja. Artinya pelaku-pelaku politik dituntut untuk sungguh-sungguh menjadi pengayom dan pelayan masyarakat banyak. Dan bukan sebaliknya yaitu penindas masyarakat. Di negara-negara modern, penguasa punya tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya. Rakyat sejahtera berarti tujuan kebijakan-kebijakan politiknya terlaksana dengan baik. Dengan kata lain, janji-janjinya kepada rakyat terpenuhi.
Filsafat Politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat. Ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, pancasila, dan lain-lain.
Bagi Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan konsep pemikiran. Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan mansuia yang menjadi warganya.[1]
Bagi Agustinus, filsafat politik adalah pemikiran-pemikiran tentang negara. Menurutnya negara dibagi 2 (dua) yaitu negara Allah (civitas dei) yang dikenal dengan negra surgawi “kerajaan Allah, dan negara sekuler yang dikenal dengan negara duniawi (civitas terrena). Kehidupan di dalam Negara Allah diwarnai dengan iman, ketaatan, dan kasih Allah. Sedangkan Negara Sekuler “duniawi”, menurutnya identik dengan negara cinta pada diri sendiri atau cinta egois ketidakjujuran, pengmbaran hawa nafsu,
keangkuhan, dosa, dan lain-lain. Dengan jelas bahwa filsafat politik negara Allah Agustinus merupakan penjelmaan negara ideal Plato.[1]
Menurut Machiavelli, filsafat politik adalah ilmu yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis serta konkrit terutama berhubungan dengan negara. Baginya, negara harus menduduki tempat yang utama dalam kehidupan penguasa. Negara harus menjadi kriteria tertinggi bagi akivitas sang penguasa. Negara harus dilihat dalam dirinya tanpa harus mengacu pada realitas apa pun di luar negara

1 komentar:

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Martin Heidegger, dia bilang: ‘Pengungkapan dapat terjadi secara otentik, tanpa serangkaian kecenderungan. Entitas pada awalnya terwujud tetapi tetap tersembunyi dalam apa yang paling otentik.’
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/10/wawancara-dengan-martin.html

    BalasHapus