Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu
falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien :
cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat
berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari
kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf
merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran
kefilsafatan yang dimilikinya.
Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu (
pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika.
Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu
( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para
ahli:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah
menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat
bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi
sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni
“( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai
ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre
(ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu.
Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat
memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran
dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu
dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan
dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange
menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya
tercakup empat persoalan.
1. Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
2. Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
3. Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
4. Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut
intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang
sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang
sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk
kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir
radikal, sistematik dan universal.
Harold H. Titus (1979 ): (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran
terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat
adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3)
Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti
kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang
mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli
filsafat.
Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia
itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga
manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu
dialamiya kesungguhan.
Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. : Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan
manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara
kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk
mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan
atau kebenaran yang sejati.
Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah
antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan
pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif
tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti
sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas
tradisi maupun otoritas wahyu.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat
ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta
radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Referensi :
Betrand Russel.2002. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan kondisi
sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (alih Bahasa Sigit
jatmiko, dkk ) . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ismaun.2007. Filsafat Administrasi Pendidikan(Serahan Perkuliahan ). Bandung : UPI
Ismaun.2007. Kapita Selekta Filsafat Administrasi Pendidikan (Serahan Perkuliahan). Bandung : UPI
Koento Wibisono.1997. Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta : Universitas Terbuka
Moersaleh. 1987. Filsafat Administrasi. Jakarta : Univesitas Terbuka
Istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua
kata yaitu philo dan sophia. Dua kata ini mempunyai arti masing-masing.
Philo berarti cinta dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan,
kehendak. Sedangkan Sophia mempunyai arti hikmah, kebijaksanaan, dan
kebenaran. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai
cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).[1]
Filsafat sebagai bentuk proses berpikir yang sistematis dan radikal
mempunyai objek material dan objek formal. Objek material filsafat
adalah segala yang ada. Dan segala yang ada mencakup ada yang tampak
(visible). Ada yang tampak (visible) di sini adalah dunia empiris
artinya yang dapat dialami manusia, sedangkan ada yang tidak tampak
adalah dunia ide-ide yang disebut dunia metafisik.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya, objek material filsafat dibagi atas tiga
bagian yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang
ada dalam kemungkinan. Dan ada pun objek formal filsafat adalah sudut
pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar
dapat mencapai hakikatnya, intinya.
Di samping pengertian diatas, berfilsafat berarti bergulat dengan
masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya.
Kenyataan seperti ini, tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan
tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang notabene adalah juga
bidang politik.
Bagi Nietzsche, filsafat adalah sebagai praktik pembentuk kehidupan
sebagai perjuangan dan kegagalan serat gelombang pasang energi eskatik
yang mengubahnya dari malaise idealisme melalui ribuan malam-malam gelap
menuju pencapaian kesehatan yang bersemangat. Senada dengan Nietzsche,
Gramsci pernah mengatakan bahwa filsafat yang sejati bukan merupakan
cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung
seluruh hal-hal fundamental yang dibutuhkan untuk mengonstruksi konsepsi
tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan
untuk mewujudkan organisasi masyarakat politik yang integral dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, politik gramsci mengarahkan dia pada
filsafat, dan filsafatnya sepenuhnya bersifat politik. Dengan kata
lain, Gramsci melihat filsafat sebagai pendidikan politik, dan politik
sebagai arena untuk menerapkan pengetahuan filosofis.[3] Dalam arti
bahwa filsafat sebagai penyedia konsep bagi politik. Sedangkan
konsep-konsep yang disediakan filsafat di terapkan dalam bidang politik.
Dan pada tingkat ini, filsafat saling kerja sama, saling membutuhkan.
Bagi Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segalanya. Dan bagi
Aritoteles, filsafat adalah menyelidiki sebab dan azas segala benda.
Karena itu, Aristoteles menamakan filsafat dengan “teologia” atau
“filsafat petama”. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses
pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam negara seperti
Indonesia, kekuasaan negara dibagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama,
Lembaga Eksekutif oleh Presiden. Kedua, Lembaga Legislatif oleh DPR.
Ketiga, Lembaga Yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga-tiganya bersifat
independen. Artinya tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Politik juga sering dikaitkan dengan hal penyelenggaraan pemerintahan
dan negara. Yang menyelenggarakannya bukan rakyat, tetapi pemerintahan
yang berkuasa. Hanya saja partisipasi rakyat sangat diharapkan.
Tujuannya agar kerja pemerintahan dapat terlaksana dengan baik. Percuma
suatu pemerintahan menyelenggarakan negara tanpa dukungan dari rakyat.
Karena itu, kerja sama antara keduanya sangat diharapkan. Rakyat
menyampaikan aspirasi kepada pemerintahan melalui wakil-wakilnya di
Parlemen yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baik pusat
maupun Daerah serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah).[1]
Dari pengalaman menjadi warga negara Indonesia, ada 2 (dua) pengertian
politik. Pertama, Kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di dalam masyarakat. Kedua, segala sesuatu yang
berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Pengertian pertama mau menegaskan bahwa Politik berkaitan dengan
“kekuasaan”. Kekuasaan adalah tujuan para pelaku politik. Karena itu,
para pelaku politik dapat melakukan apa saja demi meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Beberapa contoh sikap dan usaha para pelaku
politik untuk meraih kekuasaan misalnya: melalui kampanye Pilpres
(Pemilihan Presiden), kampanye legislatif, dan lain-lain. Usaha
mempertahankan kekuasaan misalnya: melalui lobi-lobi politik antara
pelaku politik (elit politik), menjalankan kebijakan pemerintahan secara
efisien, sehingga ada kemungkinan untuk terpilih kembali, atau
melakukan money politic agar mendapat dukungan pejabat pemerintahan dan
para pelaku politik lainnya. Sedangkan pengertian yang kedua berkaitan
dengan kebijakan pemerintahan dalam negara. Kebijakan Pemerintahan ada
bermacam-macam di sini. Pertama, kebijakan dalam negeri yang terdiri
dari kehidupan sosial dan budaya, politik, ekonomi, pertahanan keamanan,
dan lain-lain. Kedua, kebijakan luar negeri yang berurusan dengan
hubungan dengan negara lain. Namun, pemerintahan berkuasa dalam
menjalankan segala kebijakannya tersebut paling tidak harus didukung
oleh 2/3 anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Jika tidak, pemerintahan
akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan tersebut. Karena
tidak didukung oleh sebagian besar anggota Parlemen. Tapi jika
pemerintahan didukung oleh 2/3 suara mayoritas di parlemen, maka dengan
sendirinya kebijakan-kebijakan pemerinthan tidak akan mengalami
hambatan-hambatan dalam penerapannya.
Ada berbagai macam sistem politik yang dianut oleh negara-negara di
dunia antara lain: sistem anarkisme, autoritarian, demokrasi,
diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme
keagamaan, globalisme, imperialisme, marxisme, meritokrasi, monarki,
nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki.
walaupun dalam kenyataannya sistemsistem politik tersebut berakhir
tragis. Namun, sebetulnya punya tujuan sama yaitu membangun masyarakat
beradab, dan berbudaya tinggi.
Definisi Filsafat Politik
Setelah mengetahui pengertian filsafat dan politik, maka definisi
filsafat politik diperoleh melalui gabungan keduanya, yaitu sebagai
suatu upaya untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara
sistematis, logis, bebas, mendalam, serta menyeluruh. Berfilsafat
berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu
manusia untuk memecahkannya. Kenyataan ini tentu membawa filsafat pada
pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang
nota bene adalah bidang politik tempat masyarakat bernaung. Dan di situ
filsafat muncul sebagai kritik. Dalam upaya kritisnya tersebut,
filsafat menuntut agar segala klaim para pelaku politik untuk menata
masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dengan benar dan tidak membiarkan
segala macam kekuasaan menjadi mapan begitu saja. Artinya pelaku-pelaku
politik dituntut untuk sungguh-sungguh menjadi pengayom dan pelayan
masyarakat banyak. Dan bukan sebaliknya yaitu penindas masyarakat. Di
negara-negara modern, penguasa punya tanggung jawab mensejahterakan
rakyatnya. Rakyat sejahtera berarti tujuan kebijakan-kebijakan
politiknya terlaksana dengan baik. Dengan kata lain, janji-janjinya
kepada rakyat terpenuhi.
Filsafat Politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang
politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat. Ada
berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik
modern yaitu liberalisme, komunisme, pancasila, dan lain-lain.
Bagi Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan
berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia
menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia
juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan konsep
pemikiran. Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki.
Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila
manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya
juga buruk, artinya negara adalah cerminan mansuia yang menjadi
warganya.[1]
Bagi Agustinus, filsafat politik adalah pemikiran-pemikiran tentang
negara. Menurutnya negara dibagi 2 (dua) yaitu negara Allah (civitas
dei) yang dikenal dengan negra surgawi “kerajaan Allah, dan negara
sekuler yang dikenal dengan negara duniawi (civitas terrena). Kehidupan
di dalam Negara Allah diwarnai dengan iman, ketaatan, dan kasih Allah.
Sedangkan Negara Sekuler “duniawi”, menurutnya identik dengan negara
cinta pada diri sendiri atau cinta egois ketidakjujuran, pengmbaran hawa
nafsu,
keangkuhan, dosa, dan lain-lain. Dengan jelas bahwa filsafat politik
negara Allah Agustinus merupakan penjelmaan negara ideal Plato.[1]
Menurut Machiavelli, filsafat politik adalah ilmu yang menuntut
pemikiran dan tindakan yang praktis serta konkrit terutama berhubungan
dengan negara. Baginya, negara harus menduduki tempat yang utama dalam
kehidupan penguasa. Negara harus menjadi kriteria tertinggi bagi
akivitas sang penguasa. Negara harus dilihat dalam dirinya tanpa harus
mengacu pada realitas apa pun di luar negara
Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Martin Heidegger, dia bilang: ‘Pengungkapan dapat terjadi secara otentik, tanpa serangkaian kecenderungan. Entitas pada awalnya terwujud tetapi tetap tersembunyi dalam apa yang paling otentik.’
BalasHapusSaya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/10/wawancara-dengan-martin.html